Memperhatikan Pelaku Prostitusi di Indonesia Tidak Pernah Tersentuh Hukum

Meningkatnya jumlah pelaku prostitusi di Indonesia, membuat banyak kalangan masyarakat prihatin. Hal ini dibuktikan dengan tumbuh berkembangnya bisnis pemuas nafsu birahi. Para pelakunya mulai dari kalangan masyarakat biasa, sampai kalangan artis. Yang lebih Keprihatinan lagi tidak adanya payung hukum yang bisa menjerat para pelaku prostitusi di Indonesia . Pasalnya selama ini, hanya pihak mucikari (Germo) yang selalu dijerat hukum, sedangkan pelaku prostitusi itu sendiri hanya menyandang status sebagai korban perdagangan orang.

Komisaris Polisi Fahmi Reza, S.IK. M.H
Sedangkan pastinya sudah ada kesepakatan antara sipelaku, dengan seorang yang kerap kali dipanggil germo atau menyedia wanita penghibur. Dan hal tersebut akhirnya menimbulkan perdebatan dikalangan masyarakat. Sebagai besar masyarakat beranggapan hal itu tidak adil. "Bukan hanya germo saja yang bisa dibelenggu oleh hukum," tetapi masyarakat juga beranggapan semestinya pelaku juga.

Ironisnya lagi pihak Kepolisian, dalam hal ini penyidik hanya bisa menjerat pihak mucikari saja. Mengacu berdasarkan pasal 506 dan 296 kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yang mengatur tentang seseorang yang menghubungkan terjadinya tindak pencabulan terhadap orang lain. Hal yang sama juga dengan undang-undang tindak perdagangan orang (TPO). Karena undang-undang tersebut pun tidak menyeret pelaku," tetap hanya mucikari saja. Berarti jelas sudah baik undang-undang hukum pidana, dan tidak perdagangan orang hanya menjerat muncikari. Padalah apa diperbuat pelaku, sebenarnya dalam keadaan sadar.

Lalu bagaimana mana dengan tamu yang mendatangi wanita tuna susila (WTS) atau gigolo juga belum diatur secara tegas dalam KUHP. Melihat delik kesusilaan yang diatur dalam undang-undang hukum pidana, yakni pasal 281 sampai pasal 299, ternyata sulit diterapkan pada pelaku prostitusi, serta penggunaan jasa (tamu). Bila halnya pasal tersebut dikenakan pada mereka, tentunya dalam konteks yang sangat khusus. Kejahatan kesusilaan yang diatur dalam undang-undang hukum pidana, buku II bab XIV.

"Kendati demikian, hukum tidak dapat ditegakkan tanpa suatu sistem yang terdiri dari hukum itu sendiri penegak hukum, dan kesadaran masyarakat."

Unsur dari sistem hukum yang pertama adalah hukum itu sendiri. Sistem hukum di Indonesia aliran hukum Eropa kontinental dengan kata lain sistem hukum positif atau aliran hukum legisme yang berpedoman bahwa hukum harus tertulis. Tidak heran Indonesia menggunakan sistem hukum tersebut, sebab Indonesia mengalami penjajahan Negara Belanda dalam kurun waktu yang cukup lama.

Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) adalah bukti nyata warisan Negara Belanda yang sampai saat ini digunakan di Indonesia untuk mengatur kasus-kasus pidana. Sebagaimana kita, ketahui bahwa KUHP warisan Negara Belanda tersebut ternyata mandul, dan sudah tidak relevan dengan perkembangan kasus-kasus hukum tertentu baik dari segi sosial maupun kultural, dan konstitusi, serta agama begitu juga dengan HAM dalam konsep ke-Indonesia-an sehingga terdapat banyak pelanggaran hukum yang tidak bisa ditindak, seperti diketahui dalam kasus prostitusi.

"Pelaku prostitusi baik wanita maupun pria, yang melakukan hubungan seksual diluar pernikahan yang sah hanya semata-mata untuk mendapatkan imbalan baik berupa uang atau materi merupakan bagian suatu perbuatan kejahatan, yang perlu ada penekanan di dalam undang-undang pidana di Indonesia."

Menyikapi semua persoalan tersebut, diharapkan adanya penyempurna atau membuat peraturan perundang-undangan hukum pidana yang baru. Karena undang-undang hukum pidana yang berlaku sekarang ini masih menganut atau merupakan peninggalan Negara Belanda, yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Sebab apabila kita, lihat pada pasal 296 dan pasal 506 KUHP disitu tidak ada ditunjukkan kepada pelaku prostitusi, tetapi lebih ditujukan kepada mucikari dan perantaranya.

Bila pemerintah pusat tidak dilakukan perubahan terhadap undang-undang hukum pidana (KUHP) yang mengatur tentang prostitusi maka apa yang dilakukan petugas dilapangan ketika melakukan penertiban terhadap bisnis pelacuran semua akan sia-sia.

Penulis : Pasis Sespimen Dikreg Ke 56 Tahun 2016 Kandidat Doktor Hukum Pidana (UNISBA) Komisaris Polisi Fahmi Reza, S.IK. M.H
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment